Apakah TGE Menjadi Akhir dari Blockchain?
Token Generation Events (TGE) kini semakin sering dikritik sebagai “exit ramp” bagi para pendiri kripto, meninggalkan blockchain yang minim aktivitas nyata.
Banyak proyek debut dengan suplai beredar sangat kecil dan valuasi yang dilebihkan, membuat pendukung asli kesulitan meraih keuntungan berkelanjutan. Menurut sejumlah sumber industri, suplai rendah dan automated market makers (AMM) memang bisa menopang harga sementara, tetapi ketika jadwal vesting mulai terbuka, tekanan jual biasanya mendominasi pasar.
Beberapa token sempat melonjak karena hype dan kelangkaan saat peluncuran, namun mayoritas perlahan turun seiring suplai masuk ke peredaran.
“Ini siklus yang tidak ada habisnya. Rantai baru jadi tidak relevan, talenta pergi, dan yang tertinggal hanya blockchain yang dipertahankan oleh market maker dan AMM,” ujar Brian Huang, co-founder platform manajemen kripto Glider, kepada Cointelegraph.
Lonjakan Blockchain “Yatim” Pasca-TGE
Dalam setahun terakhir, sejumlah pendiri menghadapi kritik karena meninggalkan proyek mereka tidak lama setelah token dirilis.
Jason Zhao, pendiri Story Protocol, mundur dari peran penuh waktu sekitar enam bulan setelah token diluncurkan. Laporan awal mengaitkan kepergiannya dengan cliff vesting enam bulan, meski Story membantah hal itu dan menegaskan bahwa kontributor inti tunduk pada vesting empat tahun dengan cliff satu tahun.
“Faktanya, peluncuran token seharusnya jadi awal perjalanan proyek, bukan titik keluar,” tambah Huang.
Pendiri Aptos, Mo Shaikh, juga mengundurkan diri pada 19 Desember, lebih dari dua tahun setelah peluncuran mainnet dan token Aptos. Meski tidak secepat Zhao, kritik muncul karena waktunya berdekatan dengan milestone vesting besar.
Sterling Campbell, investor di Blockchain Capital, mengakui ada pendiri yang memperlakukan TGE hanya sebagai sarana cash-out, tetapi menilai masalah ini lebih kompleks.
“Ada juga faktor kelelahan founder, insentif yang tidak sejalan, dan kenyataan pahit bahwa produk tidak menemukan market fit,” ujar Campbell.
Menurut riset Messari, alokasi besar untuk insider justru berkorelasi negatif dengan performa token. Analisis terhadap 150 token utama menemukan bahwa semakin tinggi porsi insider, semakin buruk kinerja token pada 2024.
Terlalu Banyak Blockchain Pasca-TGE?
Ledakan TGE memunculkan pertanyaan besar: apakah industri benar-benar membutuhkan lebih banyak blockchain?
Dulu, TGE dipandang sebagai landasan ambisi meluncurkan jaringan baru. Kini, banyak yang menilai TGE justru menjadi tujuan akhir, sementara blockchain yang seharusnya didukung malah memudar.
Annabelle Huang, co-founder Altius Labs, menyatakan bahwa industri tidak butuh blockchain general-purpose baru seperti Ethereum atau Solana. Namun, ia menilai masih ada ruang bagi jaringan yang dirancang untuk use case spesifik.
Contoh nyata adalah Hyperliquid, yang mendapatkan daya tarik bukan dengan menjanjikan chain generik, melainkan dengan membangun bursa derivatif sebelum akhirnya memperluas ke chain milik sendiri.
“Banyak L1 dan L2 baru meluncur tanpa aplikasi unggulan yang bisa membenarkan eksistensinya saat TGE,” tambah Huang.
Di sisi lain, pertanyaan muncul: mengapa VC tetap membiayai chain baru? Solana dulu bisa mengklaim kecepatan lebih unggul dari Ethereum, tetapi kebanyakan chain baru kini setara. Investor akhirnya cenderung memilih jaringan dengan distribusi kuat, sementara kompetisi makin ketat dengan hadirnya chain korporasi dari Stripe dan Robinhood.
“Mereka mempercepat adopsi kripto ke pengguna mainstream, tapi risikonya adalah mengikis ethos jaringan permissionless,” ujar Campbell.
Jadwal Vesting Jadi Beban Pendukung Setia
Masalah makin rumit ketika founder keluar setelah TGE multimiliar dolar, meski ada jadwal vesting yang dirancang untuk menahan penjualan insider.
Sebagian komunitas menganggap investor sudah tahu risikonya karena ketentuan vesting bersifat publik. Namun, realitanya jadwal unlock token menciptakan tantangan besar bagi pendukung sejati.
Laporan Binance Research Mei 2024 memperkirakan $155 miliar token akan terbuka hingga 2030. Tanpa permintaan yang cukup, suplai ini berpotensi menambah tekanan jual permanen di pasar.