CEO Telegram Telah Dibebaskan Tapi Dilarang Tinggalkan Prancis
CEO Telegram Pavel Durov dibebaskan dengan jaminan €5 juta (setara dengan Rp85,5 miliar) pada tanggal 28 Agustus. Pria kelahiran Rusia ini juga ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan, dan tidak diizinkan meninggalkan Prancis. Selain itu, ia diperintahkan untuk menandatangani kontrak dengan polisi dua kali seminggu.
Durov ditahan di bandara Prancis pada hari Sabtu, dan kemudian didakwa atas 12 kemungkinan keterlibatan. Dakwaan tersebut termasuk beberapa kejahatan serius seperti keterlibatan dalam pornografi anak, perdagangan manusia dan pencucian uang, serta kejahatan terorganisasi. Ia juga didakwa karena tidak menanggapi permintaan yang sah dan gagal mendaftarkan layanan kriptografi.
Jaksa mengatakan bahwa Telegram hampir sepenuhnya gagal menanggapi permintaan dari pengadilan, dan hal ini telah menjadi perhatian bagian kejahatan siber di JUNALCO (Juridiction Nationale contre la Criminalité Organisée) dari Kantor Kejaksaan Paris.
JUNALCO merupakan pengadilan khusus di Prancis yang memiliki yurisdiksi nasional untuk menangani kasus-kasus kejahatan terorganisir.
Setelah penangkapannya, Durov ditahan hingga 96 jam, batas waktu maksimum seorang pelanggar dapat ditahan di bawah hukum Prancis.
Penangkapan CEO Telegram Memicu Kemarahan di Berbagai Wilayah
Penangkapan Pavel Durov telah memicu kemarahan publik di pemerintahan Paris, Moskow, dan Abu Dhabi. Misalnya, meskipun Durov menjauhkan diri dari Moskow, Telegram telah menjadi platform utama yang digunakan oleh militer Rusia untuk komunikasi di medan perang.
Oleh karena itu, para pembuat kebijakan Rusia yang khawatir telah menyerukan pembebasan Durov.
Lebih lanjut, Uni Emirat Arab mengumumkan bahwa mereka telah meminta otoritas Prancis untuk mengizinkan akses konsuler ke Durov. Perlu diketahui bahwa Durov merupakan warga negara Emirat.
“UEA tengah memantau dengan saksama kasus warga negaranya Pavel Durov, pendiri Telegram, yang ditangkap oleh otoritas Prancis di Bandara Paris–Le Bourget, dan menekankan bahwa UEA telah mengajukan permintaan kepada Pemerintah Republik Prancis untuk segera menyediakan semua layanan konsuler yang diperlukan,” tulis Kementerian Luar Negeri Abu Dhabi pada hari Senin.
Selain itu, penangkapannya memicu perdebatan sengit mengenai kebebasan berbicara daring dan regulasi teknologi.