GENIUS Act Tetapkan Aturan Baru untuk Stablecoin AS, Tapi Masih Kabur untuk Penerbit Asing
Disahkannya GENIUS Act menjadi undang-undang menandai terciptanya kerangka regulasi komprehensif pertama untuk stablecoin yang diterbitkan di AS. Para pendukung undang-undang ini percaya bahwa regulasi tersebut akan meningkatkan kepercayaan, mendorong adopsi massal, dan memperkuat posisi dolar sebagai mata uang cadangan global.
Dengan semakin meluasnya penggunaan stablecoin dalam keuangan global, GENIUS Act juga diyakini dapat membawa manfaat bagi negara berkembang, menarik minat institusional, dan menghidupkan kembali sektor decentralized finance (DeFi).
Namun, sejumlah kekhawatiran tetap muncul, terutama terkait kurangnya kejelasan soal regulasi penerbit stablecoin asing, larangan stablecoin berbunga, dan potensi dominasi oleh perusahaan besar serta institusi keuangan tradisional.
Celah “Tether Loophole” dalam GENIUS Act
Salah satu kelemahan besar GENIUS Act adalah apa yang disebut Atlantic Council sebagai “Tether loophole”. Think tank asal AS itu menyatakan bahwa hukum ini belum mengatur secara memadai penerbit stablecoin luar negeri.
Walaupun aturan ini mewajibkan penerbit asing seperti Tether memenuhi standar “yang sebanding” dengan penerbit AS, definisi dari “sebanding” itu sendiri tidak dijelaskan secara jelas. Hal ini dapat menciptakan ketimpangan kompetitif, di mana penerbit lokal harus mematuhi regulasi ketat sementara penerbit asing bisa beroperasi dari yurisdiksi yang lebih longgar.
Timothy Massad, peneliti dari Kennedy School di Harvard dan mantan Ketua CFTC, menegaskan bahwa celah ini belum diperbaiki dengan baik. Ia ikut menulis blog Atlantic Council yang mengkritik aspek ini.
Korporasi dan Bank Mulai Mengincar Penerbitan Stablecoin
Menurut Christian Catalini, pendiri MIT Cryptoeconomics Lab, perusahaan ritel besar, bank, dan fintech kini akan mulai mempertimbangkan penerbitan stablecoin sendiri. Strategi stablecoin akan menjadi bagian penting dari semua layanan pembayaran dan keuangan di masa depan.
GENIUS Act membuka peluang bagi bank-bank besar AS seperti Bank of America untuk menerbitkan stablecoin, bahkan raksasa ritel seperti Walmart dan Amazon pun dilaporkan tengah mengeksplorasi hal yang sama.
Namun hal ini memunculkan pertanyaan soal dampaknya terhadap stablecoin yang sudah mapan seperti Tether dan USDC. Catalini menilai Tether tidak terlalu terdampak karena dominasinya di pasar luar negeri, namun USDC kemungkinan akan menghadapi tekanan lebih besar di pasar domestik.
Langkah Hati-hati dari Penerbit Non-Kripto
Keith Vander Leest dari startup BVNK menyatakan bahwa perusahaan non-kripto yang ingin menerbitkan stablecoin kemungkinan akan memulainya secara perlahan lewat program pilot berskala kecil. Ia memprediksi bahwa bank akan bergerak lebih cepat dibanding perusahaan ritel, dan banyak stablecoin baru yang akan bersifat spesifik pada kasus penggunaan tertentu.
Vander Leest juga menyebut bahwa jumlah stablecoin baru yang mampu mencapai skala besar kemungkinan tetap akan terbatas.
GENIUS Tingkatkan Permintaan Terhadap Utang AS
Gedung Putih mengklaim bahwa GENIUS Act akan mendorong permintaan terhadap surat utang negara AS, memperkuat posisi dolar sebagai mata uang cadangan dunia. Menteri Keuangan Scott Bessent menyebut bahwa kapitalisasi pasar stablecoin berbasis dolar dapat mencapai $2 triliun, naik dari sekitar $267 miliar saat ini.
Markus Hammer dari HammerBlocks menambahkan bahwa karena stablecoin yang diterbitkan di AS harus didukung 100% oleh dolar atau aset setara, maka permintaan terhadap utang AS akan meningkat secara alami.
Ia juga menyebut bahwa negara berkembang kemungkinan akan menjadi pengguna utama stablecoin dolar AS, karena stabilitas dan efisiensi yang ditawarkan dibanding sistem keuangan lokal yang rapuh.
Namun, ia juga memperingatkan bahwa kepercayaan terhadap mata uang berbasis AS perlahan-lahan mulai terkikis, sehingga dominasi dolar mungkin tidak akan bertahan selamanya.
Larangan Stablecoin Berbunga: Tantangan atau Peluang?
Salah satu ketentuan GENIUS Act adalah larangan pemberian bunga atau imbal hasil kepada pemegang stablecoin. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa stablecoin AS akan kalah bersaing.
Christopher Perkins dari CoinFund mengatakan bahwa tanpa imbal hasil, stablecoin adalah aset yang nilainya menurun dari waktu ke waktu. Ia memperkirakan bahwa para investor ritel dan institusi akan mulai mencari alternatif DeFi untuk mendapatkan penghasilan pasif.
Dalam jangka panjang, kemungkinan akan muncul instrumen baru seperti token berbunga atau skema bagi hasil yang sesuai regulasi untuk institusi. Ini justru bisa menjadi peluang bagi ekosistem DeFi berbasis Ethereum untuk tumbuh sebagai alternatif utama dalam menghasilkan yield.