
Model AI Bisa Prediksi ADHD dengan Bantuan VR dan Data Gerakan Mata
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Translational Psychiatry menunjukkan bahwa kombinasi virtual reality (VR), pelacakan mata, data gerakan kepala, dan laporan gejala mandiri dapat meningkatkan akurasi dalam mendiagnosis attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) pada orang dewasa.
Dalam uji coba pada sampel independen, model pembelajaran mesin yang dikembangkan para peneliti mampu membedakan individu dengan dan tanpa ADHD dengan tingkat akurasi sebesar 81 persen.
ADHD merupakan kondisi neurodevelopmental yang ditandai dengan kurangnya perhatian, impulsivitas, dan hiperaktivitas. Meski sering didiagnosis saat masa kanak-kanak, gangguan ini juga berdampak pada jutaan orang dewasa.
Proses diagnosis pada orang dewasa sering kali bergantung pada wawancara klinis dan laporan retrospektif, yang rentan terhadap bias dan ketidakakuratan. Saat ini belum tersedia biomarker atau tes laboratorium yang dapat secara pasti mengonfirmasi diagnosis ADHD.
Untuk mengatasi tantangan ini, tim peneliti mengembangkan pendekatan diagnosis multimodal yang meniru situasi nyata sehari-hari penderita ADHD. Dalam simulasi ruang seminar menggunakan VR, peserta menjalani tugas perhatian berkelanjutan sambil dihadapkan pada berbagai gangguan. Data yang dikumpulkan meliputi pelacakan mata, gerakan kepala, aktivitas otak melalui EEG, serta laporan gejala secara real-time.
“ADHD adalah gangguan yang kompleks dan heterogen. Hingga kini, belum ada tes kognitif atau biomarker yang akurat untuk mendeteksinya,” ujar Benjamin Selaskowski dari Departemen Psikiatri dan Psikoterapi, University Hospital Bonn di Jerman. “Namun, bukti awal menunjukkan bahwa penggabungan berbagai metode penilaian dapat meningkatkan akurasi diagnosis.”
Studi dilakukan dalam dua fase. Pada fase pertama, data pelatihan dikumpulkan dari 50 peserta (25 dengan ADHD dan 25 tanpa ADHD). Fase kedua menguji keakuratan model pada kelompok berbeda yang terdiri dari 36 peserta (18 dengan ADHD dan 18 tanpa). Peserta mengenakan headset VR dan diminta menekan tombol ketika melihat urutan huruf tertentu, sambil mengabaikan gangguan.
Model pembelajaran mesin dilatih untuk mengenali pola dari berbagai sumber data, dan menggunakan metode statistik maximal relevance and minimal redundancy (MRMR) untuk memilih 11 fitur paling informatif dari total 76. Fitur-fitur utama yang berkontribusi pada akurasi diagnosis mencakup arah pandangan mata, variasi waktu reaksi, intensitas gerakan kepala, serta laporan gejala seperti inatensi dan impulsivitas.
Dalam pengujian pada sampel independen, model mencapai akurasi 81 persen, dengan sensitivitas 78 persen dan spesifisitas 83 persen. Hasil ini menunjukkan kemampuan model dalam mengenali 78 persen kasus ADHD dan 83 persen non-ADHD secara tepat. Berbeda dari sebagian besar penelitian sebelumnya, studi ini menggunakan data uji independen untuk memastikan model tidak hanya efektif pada data pelatihan.
Penggunaan VR juga dinilai krusial karena lingkungan pengujian yang realistis dapat memunculkan perilaku yang mungkin tidak terlihat dalam tes laboratorium tradisional. Selain itu, data EEG yang sering dianggap menjanjikan dalam riset ADHD justru tidak memberikan kontribusi berarti terhadap akurasi model dalam studi ini.
Meski hasilnya menjanjikan, para peneliti mengakui bahwa ukuran sampel yang kecil menjadi keterbatasan studi ini. Penelitian lanjutan dengan populasi yang lebih besar dan beragam masih diperlukan untuk memvalidasi metode ini.
“Tujuan kami adalah mengembangkan alat diagnosis ADHD pada orang dewasa yang standar, efisien, dan realistis untuk digunakan di praktik klinis,” kata Selaskowski.