
Tether Bekukan 32 Wallet Terkait Terorisme dan Peperangan Israel dan Ukraina
Penerbit stablecoin Tether telah membekukan 32 alamat dompet kripto yang diyakini terkait dengan "terorisme dan peperangan" di Israel dan Ukraina. Secara total, wallet tersebut berisi dana bernilai USD873,118 (Rp13,7 triliun).
Menurut laporan Reuters, juru bicara Tether mengatakan bahwa pembekuan pertama wallet terkait Israel terjadi pada 16 Maret 2023, sementara wallet Ukraina telah dilakukan sejak 16 Juni 2021.
Namun, Tether tidak memberikan rincian pemilik alamat dompet atau sifat aktivitas mereka. Laporan tersebut juga tidak memberikan perincian pemisahan antara alamat yang terkait dengan Ukraina dan yang terkait dengan Israel.
Tether mengatakan bahwa pihaknya bekerja sama dengan National Bureau for Counter Terror Financing (NBCTF) Israel, untuk melakukan tindakan tersebut, dengan tujuan untuk melawan terorisme dan peperangan yang didanai aset kripto.
Paolo Ardoino, yang ditunjuk sebagai CEO Tether pada bulan Oktober, menyoroti fakta bahwa transaksi aset kripto mudah dilacak di platform blockchain, sehingga memungkinkan Tether membantu memblokir penggunaan USDT yang terkait dengan pendanaan teroris.
“Bertentangan dengan kepercayaan umum, transaksi aset kripto tidak bersifat anonim. Mereka adalah aset yang paling dapat dilacak dan dilacak," katanya.
Ardoino menambahkan bahwa Tether secara aktif bekerja sama dengan lembaga penegak hukum global untuk melacak pergerakan dana terlarang, dan jika memungkinkan, membekukan aset yang terkait dengan aktivitas kriminal dan teroris.
Tether telah bekerja sama dengan 32 negara di seluruh dunia untuk mengatasi aktivitas cyber terlarang yang melibatkan stablecoin yang didukung dolar.
Pada bulan Juni 2023, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengumumkan bahwa pihak berwenang negara itu telah menyita wallet berisi jutaan dolar yang ditransfer ke kelompok militan Lebanon, Hizbullah. Lebih dari $1,7 juta cryptocurrency disita dalam operasi tersebut, berdasarkan perhitungan alat analisis blockchain Chainalysis.
Sementara itu, aset kripto telah banyak digunakan di Ukraina sejak invasi Rusia tahun lalu. Negara itu berhasil mengumpulkan lebih $100 juta dalam bentuk kripto setelah meminta sumbangan.
Data blockchain menunjukkan bahwa penjahat dunia maya sudah tidak lagi menggunakan Bitcoin untuk mentransfer dana, melainkan lebih memilih menggunakan stablecoin dan altcoin karena aksesibilitas dan kemampuannya untuk dicuci melalui pertukaran terdesentralisasi.
TRM Labs, sebuah perusahaan analisis blockchain besar AS yang bekerja dengan lembaga penegak hukum, mengatakan dalam sebuah blog pada bulan Februari bahwa Tether adalah “mata uang pilihan” untuk pendanaan teroris.
Pada bulan Februari, TRM mengatakan bahwa ada peningkatan 240% dalam penggunaan Tether di antara entitas pendanaan teroris yang dilacaknya selam tahun 2022, dengan beberapa di antaranya menggunakan stablecoin secara eksklusif. Peningkatan tersebut jauh melebihi kenaikan Bitcoin yang hanya menghampiri angka 80%.