Web3 Tetap Butuh Web2 untuk Bertahan dan Berkembang
Dalam upaya mendorong adopsi Web3, banyak penggiat dan organisasi Web3 menyerukan agar industri meninggalkan proses Web2.
Mulai dari membuat alat Web3 terasa seperti aplikasi Web2 hingga mendesain ulang model bisnis agar lebih fokus pada infrastruktur Web3, ada kelompok vokal yang percaya Web2 harus dihancurkan agar Web3 bisa tumbuh.
Namun, pandangan ini keliru.
Menggantikan sistem yang sudah ada tidaklah praktis atau menguntungkan dalam jangka pendek, dan justru berisiko membatasi potensi pertumbuhan Web3.
Tantangan Adopsi: Membawa Publik ke Sisi Web3
Web3 menawarkan solusi untuk berbagai masalah, dari ekonomi hingga aktivitas sehari-hari. Namun, teknologi ini masih dianggap rumit dan menakutkan di luar lingkaran industri.
Penelitian dari Oxford University bahkan menyebut adanya “paradoks kepercayaan” pada blockchain: meski menjanjikan sistem tanpa perlu percaya pihak ketiga, publik justru masih ragu pada teknologi ini.
Hasilnya, mayoritas pengguna cenderung bermain aman dengan aplikasi Web2 dibanding mengambil risiko mencoba Web3. Hambatan inilah yang memperlambat adopsi. Artinya, inovator Web3 tidak bisa hanya mengandalkan manfaat teknologinya, tapi juga perlu berkolaborasi dengan infrastruktur Web2 agar bisa merangkul audiens yang lebih luas.
Web2 Jadi Fondasi untuk Web3
Kolaborasi Web2 dan Web3 sebenarnya sudah berjalan, terutama dipicu penyedia Web2.
-
Di sektor keuangan, raksasa seperti PayPal, Visa, dan bank-bank besar mengintegrasikan layanan blockchain dan kripto.
-
Di luar finansial, Amazon Web Services (AWS) meluncurkan lab Web3, sementara Google Cloud bereksperimen dengan zero-knowledge proofs.
Langkah ini menunjukkan bahwa Web2 bisa menjadi jembatan menuju skala adopsi yang lebih besar bagi Web3. Sama halnya seperti 4G yang mendukung transisi ke 5G, proses Web2 bisa membantu membangun aplikasi Web3 yang lebih baik.
Strategi Nyata untuk Developer Web3
Developer Web3 dapat menyeimbangkan desentralisasi dengan kenyamanan ala Web2, mulai dari UX yang simpel hingga nama domain yang mudah dibaca manusia. Mereka juga harus menjelaskan manfaat produk Web3 bagi organisasi Web2.
Terlalu sering penggiat Web3 menganggap keunggulan teknologinya sudah jelas, padahal tanpa edukasi, justru bisa membuat pengguna menjauh. Dengan menunjukkan keunggulan praktis melalui integrasi Web2, kesenjangan adopsi bisa terjembatani.
Contoh jelasnya adalah sinergi AI dan blockchain. Jika semua data untuk melatih model AI tercatat di blockchain, asal-usul, penggunaan, hingga hasilnya bisa diverifikasi instan, menghapus sengketa terkait data.
Pada dasarnya, ide bagus akan berhasil, baik berbasis Web3 atau tidak.
Web2 Sebagai Jalan Inovasi
Mengandalkan Web2 mungkin terasa tidak nyaman bagi komunitas Web3, tapi manfaatnya jelas. Riset Nielsen menunjukkan uji coba pengguna nyata bisa meningkatkan peluang kesuksesan produk hingga 500%.
Debat “Web2 vs. Web3” memang menarik perhatian, tapi perusahaan sukses jarang mendefinisikan diri lewat label. Mereka adalah firma AI, institusi keuangan, platform konsumen, atau perusahaan data yang memakai alat apapun demi melayani pasar.
Pengguna tidak peduli apakah aplikasi berbasis Web3, mereka hanya ingin layanan keuangan yang lebih baik, AI yang lebih pintar, atau platform yang lebih berguna.
Pemenangnya adalah mereka yang diam-diam menggunakan Web3 untuk menyelesaikan masalah nyata — bukan yang sekadar mengejar popularitas jargon.