
Indonesia dan Australia Jalin Kerjasama Terkait Pajak Kripto
Pemerintah Indonesia dan Australia telah memperkuat kerjasama dalam memerangi pelanggaran pajak di era digital. Pada tanggal 22 April 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia dan Kantor Pajak Australia (ATO) menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) yang berfokus pada pengaturan pertukaran informasi kripto.
Melalui MoU ini, DJP dan ATO sepakat untuk saling bertukar informasi terkait aset kripto yang dimiliki wajib pajak di kedua negara. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan deteksi aset kripto yang potensial memiliki kewajiban pajak yang belum terpenuhi.
Dengan terjalinnya kerjasama ini, otoritas pajak kedua negara akan lebih mudah dalam melacak dan memastikan kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan dan membayar pajak penghasilan dari aset kripto mereka.
"Pengaturan ini dirancang untuk meningkatkan deteksi aset yang mungkin memiliki kewajiban pajak di salah satu negara. Artinya, otoritas pajak dapat berbagi data dan informasi terkait aset kripto dengan lebih baik, serta bertukar pengetahuan untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan," demikian bunyi pengumuman kedua belah pihak pada 23 April.
Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama menegaskan bahwa MoU ini mencerminkan pentingnya otoritas pajak untuk terus berinovasi dan bekerja sama. Hal ini bertujuan untuk menghadapi perubahan pesat yang terjadi di bidang teknologi finansial, khususnya terkait dengan aset kripto.
Dia menambahkan bahwa meskipun aset kripto relatif baru, kebutuhan untuk memastikan perpajakan yang adil tetap penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan pendapatan bagi investasi publik yang penting di berbagai bidang seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Sementara itu, Asisten Komisaris ATO, Belinda Darling, menegaskan bahwa kerjasama tersebut didasarkan pada hubungan yang kuat antara DJP dan ATO.
“Kemitraan antara DJP dan ATO sudah berjalan hampir dua dekade dan kini fokus pada penguatan sistem perpajakan di kedua negara dan meningkatkan kolaborasi kita dalam menghadapi tantangan global yang kompleks,” katanya.
Baik Indonesia maupun Australia telah menerapkan pajak atas aset kripto. Di Indonesia, pajak yang dikenakan adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPh untuk penjual aset kripto terdaftar pajak di Indonesia adalah sebesar 0,1% dari nilai transaksi, sedangkan PPN sebesar 0,11% dari nilai transaksi. Sedangkan untuk exchange tidak terdaftar, dikenakan pungutan pajak yang lebih tinggi, yaitu PPh 0,2% dan PPN sebesar 0,22%.
Di Australia, kripto dikenakan pajak berdasarkan sistem pajak keuntungan modal. Pajak ini dihitung dengan cara mengurangkan basis biaya (termasuk biaya transaksi) dari harga penjualan kripto. Jika kripto dipegang selama lebih dari 12 bulan sebelum dijual, maka akan mendapatkan diskon pajak 50%.