Kembali ke Sekolah, Guru Terapkan Metode Baru Hadapi AI di Kelas
Tahun ajaran baru dimulai, dan para pendidik mulai mengubah metode belajar-mengajar untuk memastikan siswa tetap belajar meski teknologi AI semakin hadir di ruang kelas.
Sejak kemunculan ChatGPT, siswa lebih mudah mencari jalan pintas, namun banyak pendidik percaya bahwa AI juga bisa menjadi alat pembelajaran yang tak tergantikan.
John von Seggern, pendidik sekaligus pendiri Futureproof Music School — sekolah online yang mengajarkan produksi musik elektronik — mengatakan bahwa tutor AI dapat memberikan “personalisasi nyata dalam skala besar” dengan pengalaman belajar yang mirip tatap muka satu lawan satu.
AI juga memungkinkan siswa mendelegasikan tugas-tugas kecil yang repetitif dalam penelitian sehingga mereka bisa lebih fokus pada inti pelajaran. Beberapa pendidik bahkan menilai AI membantu siswa menguasai keterampilan tambahan dengan lebih cepat.
Guru Ubah Metode Belajar untuk Adaptasi dengan AI
Meski potensial, reputasi AI dalam dunia pendidikan tidak sepenuhnya positif. Laporan dari media teknologi menunjukkan bahwa pada akhir tahun ajaran 2024, penggunaan token AI (teks kecil yang diproses LLM/AI) oleh siswa meningkat drastis, banyak di antaranya menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas. Hal ini membuat banyak guru khawatir tentang kehadiran AI di kelas.
Von Seggern menekankan bahwa AI membawa banyak tantangan, salah satunya adalah kecurangan akademik.
Menurut Daniel Myers, profesor ilmu komputer di Rollins College, masalah AI bukan hanya soal mencontek. “Tantangan terbesar AI adalah memutus hubungan antara pekerjaan yang dikumpulkan siswa dan proses pembelajaran di balik pekerjaan itu,” ujarnya.
Dulu, ketika siswa mengumpulkan makalah dengan sitasi yang benar, guru bisa berasumsi bahwa mereka memahami cara menggunakan sitasi. Namun, di era AI, kesimpulan itu tidak lagi bisa ditarik hanya dari hasil akhir.
Myers menambahkan, belajar membutuhkan “gesekan” — artinya harus cukup sulit untuk memberi tantangan yang tepat. Penggunaan AI tanpa disiplin justru menghilangkan pengalaman belajar yang berharga.
Karena itu, para pendidik kini merancang metode baru untuk memastikan siswa tetap belajar secara mendalam, bukan hanya mengandalkan AI sebagai jalan pintas.
Von Seggern menjelaskan, di sekolahnya, “Siswa menyerahkan seluruh proyek mereka agar kami bisa melihat proses kerjanya. Kami tidak melarang penggunaan AI, tetapi kami ingin melihat bagaimana mereka bekerja untuk membantu mengembangkan keterampilan mereka.”
AI Bisa Jadi Pendorong Belajar Jika Digunakan dengan Benar
Meskipun membawa tantangan, AI juga membuka peluang besar. Myers mengatakan AI dapat “mengakselerasi pendidikan” bila digunakan dengan tepat, karena memungkinkan siswa mengakses pengetahuan, keterampilan, dan perspektif yang sulit didapat.
Ia melihat banyak siswa yang memanfaatkan AI untuk proyek besar dan ambisius dengan sentuhan kreatif personal. “Kami sering bilang AI itu seperti punya minor di semua bidang,” katanya.
Von Seggern menambahkan bahwa AI juga bisa mengurangi pekerjaan teknis yang membosankan dalam produksi musik, sehingga siswa punya lebih banyak waktu untuk berkreasi. AI tutor, bila diterapkan dengan baik, bisa menjadi pendamping belajar pribadi 24/7 yang menyesuaikan kebutuhan, tujuan, dan kecepatan belajar siswa.
“AI mempersingkat siklus umpan balik dari berhari-hari menjadi hitungan detik, sehingga siswa bisa belajar lebih cepat,” jelasnya.
Pengembang AI Fokus Ciptakan Model untuk Pendidikan
Perusahaan pengembang AI juga mulai menciptakan model khusus untuk pendidikan, seiring meningkatnya minat universitas terhadap teknologi ini.
Anthropic, misalnya, meluncurkan Claude for Education, dengan fitur Learning Mode yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui eksplorasi terarah, bukan sekadar memberi jawaban instan.
Pada Juli 2025, Anthropic juga membentuk Higher Education Advisory Board yang dipimpin Rick Levin, mantan Presiden Yale sekaligus CEO Coursera, dengan anggota dari Stanford, Michigan, University of Texas at Austin, Rice, hingga Complete College America.
Meski begitu, perusahaan ini tetap mengakui adanya potensi penyalahgunaan. Hasil riset Agustus lalu menemukan bahwa hampir setengah (47%) percakapan siswa dengan AI berfokus pada jawaban instan dengan keterlibatan minimal, menimbulkan kekhawatiran soal ketergantungan berlebihan pada AI.
Anthropic menegaskan akan terus menganalisis pola penggunaan, berbagi temuan positif sekaligus area yang perlu diwaspadai, agar penerapan AI tetap sejalan dengan nilai pendidikan.