
Mengapa Menjadi Founder Kripto Gen Z Itu Anugerah Sekaligus Kutukan
Dari begadang di kamar asrama hingga berhasil mengumpulkan jutaan dolar, para founder kripto Gen Z sedang membentuk masa depan industri ini—satu penolakan demi penolakan.
Josh Benaron, founder dari platform Irys, mengenang bagaimana ia pernah ditertawakan saat mencoba menggalang dana di usia 19 tahun.
“Sebelum menjadi founder, saya kesulitan mendapatkan akses ke peluang di dunia kripto. Saya pernah diperkenalkan ke CTO salah satu bursa kripto terbesar di Eropa, tapi ia nyaris menertawakan saya keluar ruangan hanya karena usia saya,” ujar Benaron.
Secara umum, usia muda sering kali dianggap tidak menguntungkan saat menggalang dana karena investor mengasosiasikannya dengan kurangnya pengalaman dan kedewasaan.
Dunia Kripto dan Paradoks Usia Muda
Meskipun Silicon Valley sering mengagungkan kisah sukses founder muda, data menunjukkan rata-rata usia founder teknologi adalah 42 tahun. Namun, sifat terbuka dan tanpa izin dari blockchain telah mengubah pola itu. Vitalik Buterin, ikon dunia kripto, mendirikan Ethereum di usia 21 tahun.
Chunda McCain (23), co-founder dari Nucleus—platform plug-and-play untuk rollup dan appchain—mengatakan bahwa usianya menjadi batu sandungan utama.
“Salah satu VC bahkan bilang saya tidak akan mampu bersaing di pasar DeFi yang sangat kompetitif hanya karena usia saya. Mereka menganggap saya seperti anak kecil yang main-main di dunia orang dewasa.”
Namun justru keraguan itu yang memotivasi mereka untuk terus membuktikan diri. Benaron akhirnya berhasil mengumpulkan $200.000 di tahap pre-seed pada usia 19 tahun dan kini telah menggalang lebih dari $15 juta.
Menjalankan Startup Kripto Tanpa Panduan
Menjalankan perusahaan bukanlah hal yang diajarkan di bangku kuliah—termasuk bagaimana memimpin tim, mempekerjakan karyawan, dan berkomunikasi dengan politisi.
Menurut Benaron, founder muda belum punya model mental yang matang dalam memimpin tim, sehingga harus mengandalkan insting dan prinsip dasar. Ia bahkan pernah mempekerjakan orang yang lebih tua darinya, tapi justru merusak sistem karena mencoba mengganti proses yang ada hanya demi formalitas.
Chunda McCain pun mengakui tantangan terbesar adalah saat harus bertanggung jawab atas uang dan pekerjaan orang lain. Ia belajar melalui kegagalan dan membuang ego demi keberhasilan tim.
“Di dunia kripto, begitu kita punya rekam jejak yang terbukti, usia bukan lagi masalah.”
Investor Call di Tengah Jam Kuliah
Kisah berbeda datang dari Paul Frambot, founder dari protokol DeFi Morpho. Ia memulai perusahaannya dari kamar asrama saat masih tahun kedua kuliah teknik, dan justru merasa usia muda membantunya saat pitching ke investor Amerika.
“Saya melakukan panggilan investor di sela-sela kelas kuliah. Tak ada yang mengajari saya cara fundraising. Justru karena ketidaktahuan itu, saya bisa berpikir dari prinsip dasar,” ujarnya.
Morpho berhasil menggalang $1 juta, lalu $20 juta enam bulan kemudian. Saat ini, Morpho menjadi protokol DeFi peminjaman terbesar ketiga di dunia, didukung oleh $50 juta dan terintegrasi ke Coinbase.
Mendirikan Startup Setelah Runtuhnya Terra
Griffin Dunaif, mahasiswa Stanford dan pendiri Halliday, meluncurkan platformnya di tahun 2022, tak lama setelah ekosistem Terra runtuh. Halliday memungkinkan pengguna mengotomatisasi berbagai proses on-chain dalam hitungan jam.
Ia terinspirasi dari konser Ariana Grande di Fortnite dan kelas sejarah Asyur kuno—perpaduan antara teknologi dan masa lalu yang membentuk visinya akan masa depan digital.
Di usia 24 tahun, Dunaif telah menggalang dana sebesar $26 juta dan memimpin tim berisi 20 orang di New York dan San Francisco.
Namun perjalanan tidak mudah. Saat dana masuk ke rekening, pasar kripto justru runtuh akibat kejatuhan Terra dan FTX. Selain itu, ia harus belajar hukum sekuritas, lisensi pinjaman, hingga ekonomi perilaku.
“Saya rasa sekarang saya nyaris punya gelar JD,” ujarnya bercanda.