
Meta Tolak Bitcoin sebagai Aset Treasury, Tunjukkan Big Tech Masih Skeptis
Meta, raksasa media sosial dengan cadangan kas cair sebesar $72 miliar, secara resmi menolak proposal untuk mempertimbangkan Bitcoin sebagai aset cadangan treasury dalam rapat tahunan pemegang saham pada 28 Mei. Proposal ini ditolak dengan perbandingan suara telak 1.221 banding 1.
Meskipun perusahaan seperti Strategy (MicroStrategy) sukses menggunakan Bitcoin sebagai aset treasury sejak 2020, sebagian besar perusahaan teknologi besar tetap skeptis. Microsoft juga menolak proposal serupa pada Desember 2024.
Aset Treasury Bukan Tempat Spekulasi
Menurut profesor keuangan NYU Aswath Damodaran, pemahaman komunitas kripto mungkin keliru. Aset treasury dirancang untuk likuiditas darurat, bukan investasi spekulatif. “Saya rasa itu ide gila,” ujarnya terkait proposal Meta tersebut.
Campbell Harvey dari Duke University, meski pro-teknologi blockchain, juga menyatakan bahwa Bitcoin tidak cocok sebagai aset treasury. “Kalau investor Meta ingin punya Bitcoin, mereka bisa beli sendiri,” tegasnya.
Namun, Harvey menekankan bahwa stablecoin seperti USDC atau USDT lebih layak karena stabil dan likuid.
Keberhasilan Strategy Tidak Bisa Disamakan
MicroStrategy memang sukses dengan strategi BTC-nya, bahkan sahamnya (MSTR) naik 2.466% sejak adopsi Bitcoin — mengungguli Nvidia, Tesla, Google, dan Microsoft. Tapi, Harvey menegaskan bahwa itu adalah taruhan strategis, bukan model cadangan kas yang bisa diterapkan ke semua perusahaan.
“Kalau mau investasi strategis, silakan. Tapi jangan sebut itu aset treasury,” ujarnya.
Argumen Pro-Bitcoin: Diversifikasi dan Inflasi Dolar
David Tawil dari ProChain Capital menyebut Meta “terlalu banyak duduk di atas kas.” Ia menyarankan agar sebagian dana dimasukkan ke Bitcoin untuk diversifikasi dan perlindungan dari inflasi dolar.
James Butterfill dari CoinShares menambahkan bahwa alokasi 3% ke Bitcoin bisa menggandakan rasio Sharpe (ukuran performa risiko). Data CoinShares juga menunjukkan bahwa rata-rata alokasi aset digital naik dari 1% (Oktober 2024) menjadi 1,8% (April 2025), menandakan adopsi yang semakin cepat.
Sikap Korporasi Masih Terpecah
Penolakan Meta bisa jadi mencerminkan sikap hati-hati institusi besar. Tapi dengan CEO Mark Zuckerberg memegang 61% kekuatan voting, hasil ini belum tentu mewakili sikap pasar korporat secara umum.
Stefan Padfield dari National Center for Public Policy Research menyatakan bahwa dewan dan manajemen perusahaan masih terpecah soal Bitcoin — mulai dari “tidak sama sekali” hingga “sangat percaya.”
Padfield menambahkan bahwa penolakan bisa jadi bukan anti-Bitcoin, tapi karena manajemen tidak ingin dipaksa mempertimbangkan opsi tersebut.
Sementara Itu, Adopsi Global Semakin Meningkat
Terlepas dari sikap Meta, beberapa perusahaan besar mulai menambahkan Bitcoin ke neraca keuangan mereka:
-
Blockchain Group di Paris membeli $68 juta dalam bentuk BTC (3 Juni)
-
K Wave Media dari Korea mengumumkan rencana membeli Bitcoin senilai $500 juta sebagai strategi treasury (4 Juni)
Menurut CoinShares, setidaknya 72 perusahaan telah mengadopsi Bitcoin sebagai bagian dari strategi keuangan mereka di 2025, meski sebagian besar tampak hanya ingin mempercantik kinerja saham, bukan keyakinan jangka panjang.
Bitcoin Lebih Stabil dari Saham Meta?
Menariknya, Butterfill menyebut bahwa volatilitas Bitcoin kini lebih rendah dari saham Meta dalam dua bulan terakhir — dan hal ini juga berlaku untuk saham FAANG lainnya.
Padfield menutup dengan peringatan bahwa suara rendah dalam voting tidak selalu berarti penolakan penuh terhadap Bitcoin, melainkan bisa jadi hanya upaya menghindari paksaan dalam keputusan strategis.