Model Pinjaman Token Market Maker Bisa Hancurkan Proyek Kripto: Ini Cara Kerjanya
Market maker yang tepat bisa menjadi batu loncatan bagi proyek kripto, membuka akses ke bursa besar dan menyediakan likuiditas penting agar token dapat diperdagangkan dengan lancar. Tapi jika insentif yang salah tertanam dalam perjanjiannya, market maker bisa berubah menjadi bumerang yang menghancurkan proyek itu sendiri.
Salah satu model yang paling populer namun sering disalahpahami adalah “loan option model” atau model pinjaman token. Dalam skema ini, sebuah proyek meminjamkan token kepada market maker, yang kemudian menggunakannya untuk menciptakan likuiditas, menstabilkan harga, dan membantu mendapatkan listing di bursa. Namun dalam kenyataannya, model ini sering menjadi vonis mati bagi banyak proyek muda.
Bagaimana Model Ini Menjebak Proyek
Menurut Ariel Givner, pendiri Givner Law, banyak market maker menggunakan struktur pinjaman token ini untuk memperkaya diri dengan mengorbankan proyek yang seharusnya mereka bantu.
“Market maker meminjam token dari proyek dengan janji akan membantu listing di bursa besar. Jika gagal, mereka janji mengembalikannya dengan harga lebih tinggi dalam setahun,” jelas Givner.
Namun yang sering terjadi adalah market maker langsung menjual token pinjaman, menjatuhkan harga, kemudian membelinya kembali di harga diskon dan menyimpan keuntungannya.
“Saya belum pernah lihat ada token yang benar-benar diuntungkan dari skema ini,” tambahnya. “Mungkin ada yang etis, tapi yang besar-besar justru merusak grafik harga.”
Strategi Diam-Diam Para Market Maker
Beberapa market maker ternama seperti DWF Labs dan Wintermute tercatat pernah menawarkan model pinjaman token. Meski Wintermute menyebut layanannya sebagai “penyediaan likuiditas,” hasil akhirnya tetap sama.
DWF Labs mengatakan kepada Cointelegraph bahwa mereka tidak mendanai posisi dengan menjual token pinjaman, dan tidak ingin merusak ekosistem tempat mereka berinvestasi.
Namun analis on-chain dan pelaku industri tetap meragukan transparansi praktik trading mereka.
Sementara itu, CEO Wintermute Evgeny Gaevoy pernah menyatakan bahwa perusahaannya bukanlah lembaga amal, melainkan “bisnis yang mencari keuntungan dari aktivitas trading.”
Model yang Merugikan Proyek Kecil
Menurut Jelle Buth, co-founder market maker Enflux, bukan hanya market maker besar yang menggunakan skema ini, tetapi juga banyak pihak lain dengan penawaran yang sama “predatornya.”
“Mereka menjualnya sebagai solusi likuiditas tanpa modal. Padahal proyek tidak sadar bahwa mereka sedang memberikan kendali penuh atas token mereka,” jelasnya.
Buth menyarankan proyek kripto untuk mengevaluasi kualitas likuiditas yang ditawarkan, dan memastikan adanya indikator kinerja (KPI) yang jelas sebelum menyetujui perjanjian. Nyatanya, dalam banyak perjanjian, KPI ini seringkali kabur atau bahkan tidak disebutkan sama sekali.
Hasil review Cointelegraph atas sejumlah proyek yang menandatangani model ini menunjukkan pola yang sama: token mereka anjlok dan proyek berada dalam posisi lebih buruk dari sebelumnya.
Apakah Semua Model Market Maker Buruk?
Tidak semua perjanjian market maker berakhir buruk. Model ini bisa bermanfaat bagi proyek besar, tetapi dengan struktur perjanjian yang buruk, model ini mudah berubah menjadi alat eksploitatif.
Seorang penasihat listing yang tidak disebutkan namanya mengatakan:
“Saya pernah lihat proyek yang punya 11 market maker — setengah pakai model pinjaman, setengah lainnya firma kecil. Tapi karena tim bisa mengatur likuiditas dan harga dengan baik, tokennya stabil.”
Mereka membandingkan model ini seperti meminjam dari bank: "Setiap bank punya bunga berbeda, tidak ada yang memberi pinjaman tanpa harapan keuntungan."
Transparansi dan Etika Jadi Sorotan
Pendiri DeFiance Capital, Arthur Cheong, menuduh bursa terpusat (CEX) menutup mata terhadap manipulasi harga yang dilakukan proyek dan market maker secara bersama-sama. Ia menulis:
“Kepercayaan terhadap pasar altcoin semakin terkikis. Sangat aneh kalau CEX membiarkan hal ini terjadi.”
Namun penasihat listing tadi menegaskan tidak semua bursa ikut bermain kotor:
“Beberapa bursa justru langsung mengunci akun jika mencium praktik predatory. Semua tetap melakukan due diligence, apalagi di bursa tier 1.”
Retainer Model: Solusi yang Lebih Aman?
Sebagian pihak kini mendorong beralih ke “retainer model”, di mana proyek membayar biaya tetap bulanan untuk jasa market maker — bukan memberi token di awal.
“Retainer model lebih sehat. Market maker jadi punya insentif untuk kerja jangka panjang. Kalau pakai loan model, token langsung dijual dan proyek ditinggal begitu saja,” kata Kristiyan Slavev dari Delta3.
Meski model pinjaman dianggap predator, Givner menegaskan semua kesepakatan dibuat secara sah oleh kedua pihak. Karena bukan sekuritas, wilayah hukum ini masih abu-abu di dunia kripto.
Namun kesadaran terhadap risiko model ini meningkat, terutama setelah insiden seperti token OM milik Mantra yang jatuh 90%, diduga akibat berakhirnya kesepakatan dengan FalconX (meskipun pihak Mantra membantah hal tersebut).
“Kami angkat bicara karena kami memang pakai retainer model. Tapi juga karena model pinjaman ini terlalu banyak menghancurkan proyek,” ujar Buth.