
Nasib Blockchain di 2025: Yang Masih Bertahan dan Sudah Tidak Aktif
Dunia blockchain terus berkembang dengan cepat, tetapi tidak semua jaringan mampu bertahan. Banyak blockchain yang kini menjadi "kota mati digital", ditinggalkan oleh pengembang, tanpa transaksi harian, dan hanya menyisakan pemegang token yang nilainya sudah tak berarti. Penyebabnya bervariasi, mulai dari tokenomics yang lemah, skema penipuan, masalah keamanan, hingga kurangnya komunitas dan momentum pengembangan.
Di sisi lain, beberapa blockchain berhasil menunjukkan ketangguhannya. Bitcoin, Ethereum, dan Solana adalah contoh jaringan yang tetap aktif meski menghadapi tekanan pasar. Sebaliknya, jaringan seperti Terra dan EOS menjadi pelajaran pahit bahwa popularitas awal tak menjamin keberlanjutan jika tidak diiringi inovasi dan utilitas nyata.
Tantangan Adopsi Blockchain di 2025
Hingga 2025, adopsi blockchain masih menghadapi berbagai tantangan. Ketidakpastian regulasi menjadi penghambat utama. Banyak negara belum memiliki kerangka hukum yang jelas, membuat inovasi blockchain terancam dibatasi sebelum berkembang. Selain itu, alat pengembangan yang terfragmentasi dan infrastruktur yang belum matang menyulitkan pengembang untuk berkontribusi secara konsisten.
Penggunaan bot demi airdrop juga menurunkan kualitas partisipasi pengguna. Banyak jaringan tampak aktif, tetapi tidak mencerminkan keterlibatan pengguna sesungguhnya. Belum lagi kebutuhan akan layanan RPC (Remote Procedure Call) yang andal untuk menjamin konektivitas aplikasi ke jaringan blockchain.
Blockchain yang Masih Aktif di 2025
Beberapa jaringan blockchain tetap menunjukkan vitalitasnya hingga April 2025:
-
Ethereum: Tetap menjadi tulang punggung DeFi dan NFT dengan jutaan transaksi harian melalui layer-2 seperti Arbitrum.
-
Solana: Menarik 3,68 juta alamat aktif harian berkat kecepatan dan biaya rendah, meski sempat terguncang akibat token TRUMP yang anjlok.
-
Bitcoin: Fokus pada penyimpanan nilai dengan kapitalisasi pasar mencapai $1,636 triliun, tetap relevan lewat ETF dan pengembangan Lightning Network.
-
BNB Chain: Mencatat 1,93 juta pengguna harian dengan transaksi terjangkau, meski sering dikritik karena sifatnya yang tersentralisasi.
-
Near: Mengandalkan sharding dan mencatat 3,18 juta alamat harian.
-
Sui: Menunjukkan pertumbuhan pesat dengan 2,46 juta pengguna harian melalui pendekatan berbasis objek.
-
Tron: Fokus pada transfer stablecoin seperti USDT, dengan 2,45 juta alamat harian.
-
Polkadot: Memperkuat konektivitas antar blockchain melalui sistem parachain, meskipun belum terlalu populer di kalangan pengguna umum.
Jaringan yang Menghilang
Contoh jaringan yang gagal seperti EOS dan Terra menunjukkan bahwa antusiasme awal bukan jaminan kesuksesan jangka panjang. EOS, yang sempat digadang-gadang sebagai “Ethereum killer”, kini minim aktivitas karena masalah tata kelola. Sementara itu, Terra mengalami kehancuran pada 2022 akibat runtuhnya stablecoin algoritmik miliknya.
Cara Menilai Kesehatan Blockchain
Menilai kesehatan sebuah blockchain tak cukup hanya melihat harganya. Ada sejumlah metrik penting yang bisa menjadi indikator apakah sebuah blockchain masih hidup, aktif, dan dipercaya komunitas. Volume dan kecepatan transaksi, misalnya, menjadi sinyal utama. Blockchain yang sehat menunjukkan aktivitas transaksi yang konsisten. Sebaliknya, aktivitas rendah bisa menjadi pertanda penurunan minat atau kepercayaan.
Total Value Locked (TVL) juga krusial, jika pengguna DeFi percaya pada ekosistem sebuah chain, mereka akan mengunci dana mereka di dalamnya. Penurunan TVL biasanya mengindikasikan arus keluar pengguna dan investor. Aktivitas pengembang adalah indikator lainnya. Apakah proyek baru terus bermunculan? Apakah ada pembaruan rutin dari tim developer? Jika komunitas pengembang stagnan, ini bisa menjadi sinyal masalah jangka panjang.
Jumlah validator dan node juga tak kalah penting. Angka yang tinggi menunjukkan desentralisasi dan keamanan jaringan yang baik. Selain itu, likuiditas dan ekonomi on-chain menjadi cerminan minat pasar secara langsung. Jika likuiditas menipis, masa depan chain tersebut ikut dipertaruhkan.
Seringkali, developer dan tim inti berpindah ke chain lain demi mendapatkan skalabilitas dan dukungan ekosistem yang lebih baik. Namun, migrasi besar-besaran bisa menjadi sinyal menurunnya daya saing sebuah blockchain. Sebaliknya, perpindahan proyek ke suatu chain bisa menandakan kepercayaan pasar yang sedang meningkat.
Sebagai contoh, pada 3 April 2025, proyek gim viral Infecteddotfun mengumumkan kepindahan dari Base ke Solana. Gim simulasi spekulatif ini menarik 130.000 pendaftar hanya dalam 48 jam, memicu lonjakan gas fee dan membuat pengalaman bermain di jaringan Base terganggu. Tim pengembang menyebut keterbatasan Ethereum Virtual Machine (EVM) sebagai alasan, dan memilih Solana karena skalabilitasnya yang lebih baik dan basis pengguna yang aktif.
Bisakah Blockchain Mati Bangkit Kembali?
Jawabannya: bisa, tapi tidak mudah. Blockchain yang sempat tidak aktif bisa kembali jika menemukan use case yang kuat, mendapatkan dukungan komunitas, atau menawarkan insentif yang menarik. Beberapa bahkan berubah menjadi layer-2 atau bergabung dengan jaringan yang lebih aktif.
Kebangkitan Solana pasca krisis FTX adalah contoh nyata. Berkat komunitas yang solid dan pengembangan berkelanjutan, Solana kembali menjadi salah satu pemain utama dalam ekosistem blockchain.