Polisi Hong Kong Cegat Rp70,6 Miliar dari Scam Bermodal AI
Polisi Hong Kong berhasil mengintersepsi lebih dari HK$34 juta (setara US$3,37 juta) hasil dari penipuan melalui operasi besar-besaran yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI). Menurut laporan South China Morning Post, investigasi ini juga mengungkap taktik baru yang digunakan oleh para operator penipuan, termasuk skema penipuan asmara (romance scam).
Dalam beberapa kasus, para scammer menyamar sebagai wanita lajang kaya dengan minat khusus seperti belajar bahasa Jepang, bermain golf, hingga mencicipi anggur merah seharga lebih dari HK$100.000 per botol. Strategi ini tercatat dalam buku catatan yang disita oleh polisi saat menangkap 31 tersangka dalam operasi tersebut.
Teknologi AI dalam Penipuan Asmara dan Investasi
Salah satu modus utama yang digunakan adalah integrasi teknologi deepfake untuk membuat gambar wanita menarik yang terlihat meyakinkan. Teknologi ini digunakan untuk menipu korban melalui hubungan asmara palsu yang pada akhirnya diarahkan ke investasi yang merugikan.
Menurut Byron Boston, mantan petugas polisi Dallas dan CEO Crypto Track, “Integrasi teknologi deepfake dan skema rekayasa sosial (social engineering) menghadirkan tantangan signifikan bagi penyelidik kripto dan penegak hukum.”
Boston juga mengungkapkan bahwa teknologi seperti ini memungkinkan pelaku untuk menjalankan penipuan yang lebih rumit dan canggih. Ia mencontohkan insiden pada November 2022, di mana video deepfake yang menyerupai pendiri FTX, Sam Bankman-Fried, digunakan dalam skema phishing untuk mencuri aset kripto pengguna FTX.
Penangkapan di Nigeria dan Skema Internasional
Sementara itu, di Nigeria, Komisi Kejahatan Ekonomi dan Keuangan (EFCC) menangkap hampir 800 orang yang terlibat dalam penipuan asmara berbasis kripto. Penangkapan ini merupakan bagian dari operasi besar di gedung tujuh lantai yang diduga menjadi pusat aktivitas sindikat kriminal tersebut.
Notebook yang disita dari tersangka menunjukkan bahwa sindikat ini juga merekrut anak muda yang mencari cara cepat untuk menghasilkan uang. Para pelaku seringkali berpura-pura menjadi wanita sukses yang tinggal di Taiwan, Singapura, dan Malaysia untuk memikat korban.
Boston menyoroti bahwa meskipun metode penipuan ini semakin canggih, kolaborasi yang efektif dan tindakan cepat sangat penting untuk melawan aktivitas kriminal ini. Namun, ia juga mengakui bahwa banyak lembaga penegak hukum lokal, khususnya di Amerika Serikat, masih kekurangan alat dan keahlian untuk melacak cryptocurrency yang dicuri atau memulihkan dana melalui bursa internasional.