Teknologi Virtual Reality Bisa Cegah Tindakan Bullying di Sekolah
Perundungan (bullying) masih menjadi persoalan serius di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Meski berbagai program pencegahan telah diterapkan, banyak di antaranya masih kesulitan menjangkau dan melibatkan siswa, terutama mereka yang lebih tua. Kini, pendekatan baru melalui teknologi Virtual Reality (VR) mulai menunjukkan potensi besar dalam mengatasi masalah ini secara lebih emosional dan mendalam.
Sebuah uji coba kurikulum pencegahan perundungan berbasis VR baru-baru ini dilakukan di beberapa sekolah menengah pertama di wilayah Midwest, Amerika Serikat. Dalam studi ini, para siswa menggunakan headset VR untuk merasakan langsung pengalaman berada dalam situasi perundungan. Mereka diminta untuk memposisikan diri sebagai korban, pengamat, bahkan sebagai orang dewasa yang gagal menangani situasi secara efektif.
Hasil awal dari program ini menunjukkan dampak positif yang signifikan. Para siswa yang mengikuti kurikulum VR menunjukkan peningkatan tingkat empati secara nyata. Peningkatan empati ini berdampak langsung pada penurunan perilaku perundungan konvensional, meningkatnya keinginan siswa untuk membantu korban, serta memperkuat rasa kebersamaan dan keterikatan mereka terhadap lingkungan sekolah.
VR bekerja dengan cara mengurangi jarak psikologis (konsep yang dijelaskan dalam teori construal level) di mana seseorang cenderung lebih peduli dan bertindak lebih konkret terhadap sesuatu yang terasa dekat secara emosional. Dengan menyajikan pengalaman perundungan secara nyata dan personal, VR membuat siswa tidak hanya memahami, tapi juga merasakan dampaknya secara langsung.
Meski begitu, pendekatan ini belum menunjukkan hasil yang sama terhadap bentuk perundungan lain seperti cyberbullying dan relational aggression, perundungan non-fisik yang lebih halus, seperti menyebarkan rumor atau mengucilkan teman. Hal ini menandakan perlunya pengembangan skenario VR yang lebih spesifik untuk jenis-jenis perundungan tersebut.
Meskipun terdapat tantangan, siswa mengapresiasi kedalaman emosional dan keaslian yang ditawarkan pengalaman VR. Suasana belajar yang imersif dan individual juga membuat mereka lebih fokus dan terbebas dari tekanan sosial di ruang kelas.
Ke depan, penerapan teknologi ini masih menghadapi kendala logistik dan biaya. Namun, para pendidik dan peneliti melihat potensi besar dari VR dalam mengubah budaya sekolah. Teknologi ini tidak hanya menjadi alat edukasi, tetapi juga sarana untuk menciptakan pengalaman yang mampu membentuk perilaku dan memperkuat empati di kalangan pelajar.