Trader Ritel Rugi Saat OTC Token Deals Menang, Inilah Alasannya
Dana kripto dan market maker membeli token dengan diskon besar melalui transaksi over-the-counter (OTC) privat, lalu melakukan lindung nilai dengan posisi short. Hasilnya, mereka bisa mengunci keuntungan dua digit, sementara trader ritel justru menanggung risiko.
Menurut Jelle Buth, co-founder market maker Enflux, investor institusional sering mendapat alokasi token dengan potongan harga sekitar 30% dan periode vesting 3–4 bulan. Untuk mengurangi risiko harga, mereka membuka short dalam jumlah yang sama di pasar perpetual futures.
Strategi ini hampir menjamin profit dengan potensi imbal hasil tahunan (APY) mencapai 60%–120%, terlepas dari arah pergerakan harga token.
“Kalau jadi ritel, saya tidak akan mau lagi,” kata Buth kepada Cointelegraph.
Bagaimana OTC Token Deals Bekerja untuk Dana dan Market Maker
Transaksi OTC cenderung merugikan trader ritel karena:
-
Menambah tekanan jual pada harga token.
-
Tidak transparan, sehingga investor publik sulit mengambil keputusan tepat.
Contoh kasus:
-
Investor institusi ikut dalam pendanaan $10 juta dengan investasi $500.000.
-
Mereka membeli token dengan diskon 30% dan vesting 4 bulan.
-
Untuk melindungi diri dari volatilitas harga, investor membuka short perp yang sama besar di pasar futures.
-
Setelah vesting berakhir, diskon otomatis mengunci keuntungan. Dalam 4 bulan, profit 30% berarti setara dengan 90% APY tahunan.
Di pasar saham tradisional, praktik serupa wajib diungkap lewat dokumen resmi. Namun di kripto, proyek sering kali hanya mengumumkan angka dana yang terkumpul tanpa menyebut diskon atau periode vesting.
“Alokasi OTC dengan diskon adalah rahasia umum kripto,” ungkap Douglas Colkitt, kontributor blockchain layer-1 Fogo. “Trader ritel jadi buta arah karena tidak tahu ada tumpukan token diskon yang siap dijual kapan saja.”
Risiko OTC: Tidak Selalu Risk-Free
Di atas kertas, kombinasi diskon dan lindung nilai terlihat seperti perdagangan bebas risiko. Namun, perpetual futures juga punya jebakan: biaya pendanaan (funding fee).
Jika harga futures lebih tinggi daripada harga spot, trader short harus membayar trader long untuk mempertahankan posisi. Biaya ini bisa menggerus margin keuntungan dari token diskon.
Selain itu, ada juga biaya peluang. “Dana yang terkunci di vesting sebenarnya bisa diinvestasikan ke tempat lain,” kata Brian Huang, pendiri platform manajemen kripto Glider.
Kenapa OTC Masih Jadi Pilihan Utama?
Meskipun merugikan ritel, OTC tetap populer karena menguntungkan kedua belah pihak:
-
Proyek kripto: bisa mendapatkan pendanaan cepat tanpa harus menjual token langsung di pasar.
-
Dana dan market maker: bisa menempatkan modal ke token dengan profit terukur tanpa harus menunggu bertahun-tahun seperti investasi ekuitas.
“Banyak VC bahkan sudah enggan masuk ke putaran pendanaan awal. Mereka lebih suka token likuid dari proyek mapan yang langsung bisa diperdagangkan,” jelas Buth.
Hasilnya, OTC terus bertahan karena menyelaraskan kepentingan pihak dengan modal terbesar. Proyek mendapat likuiditas, dana mendapat profit, sementara trader ritel hanya bereaksi terhadap pergerakan harga yang sudah dipengaruhi kesepakatan tersembunyi.
Apakah Ritel Bisa Ikut Bermain di OTC?
Beberapa platform kini mulai membuka akses ke fundraising OTC untuk investor ritel, meskipun skalanya masih terbatas.
Namun, Colkitt menilai efek OTC lebih dalam: “Tekanan jual bukan berarti proyek jelek. Itu murni efek mekanisme OTC.”
Buth menambahkan, tidak ada yang salah dengan proyek menawarkan diskon atau investor mengambilnya. “Semua hanya memainkan permainan,” katanya.
Untuk saat ini, ketidakseimbangan tetap merugikan ritel. OTC token deals memberi keuntungan pasti bagi proyek dan dana, sedangkan trader ritel terjebak menanggung risiko dari tumpukan token diskon yang sewaktu-waktu bisa dilepas.