Violetta Zironi Jual Lagu Seharga 1 Bitcoin, Perjalanan Musik Web3 dan NFT yang Menginspirasi
Violetta Zironi, penyanyi-penulis lagu asal Italia berusia 30 tahun, kini menjadi ikon baru dalam dunia musik Web3. Karier musiknya mulai melejit sejak berusia 18 tahun saat meraih posisi ketiga di ajang X-Factor Italia 2013. Namun kini, ia justru dikenal karena pendekatannya yang revolusioner: menjual musik dalam bentuk NFT dan mencetak karya di blockchain.
Setelah meninggalkan kontrak label rekaman dengan Sony Records—yang menurutnya merugikan—Zironi memilih jalur independen dan mulai mencetak lagu-lagunya sebagai NFT di blockchain. Dalam waktu tiga tahun, ia berhasil membangun komunitas penggemar yang menghargai kepemilikan musik sebagai aset digital.
Baru-baru ini, Zironi menjual lagu eksklusif berjudul “n0 0rdinary kind” seharga 1 Bitcoin (sekitar $60.000 pada saat transaksi) dalam bentuk Ordinal—NFT yang disimpan di jaringan Bitcoin. Hingga saat ini, ia telah menghasilkan lebih dari $2,5 juta dari penjualan musik NFT-nya, termasuk koleksi debut bertajuk “Moonshot” di jaringan Ethereum, yang ilustrasinya digambar oleh sang ayah—seorang seniman visual ternama di Disney.
Namun, ia menyayangkan stigma publik terhadap dunia kripto.
“Aneh rasanya melihat Bitcoin dan blockchain masih dianggap tabu. Padahal, sekarang ada musisi yang menjual foto di OnlyFans untuk membiayai tur mereka, dan komunitas musik mendukung itu. Tapi saat kita pakai Bitcoin, langsung dianggap aneh. Crypto lebih tabu daripada OnlyFans—itu gila, tapi aku suka,” ungkapnya.
Perjalanan dari X-Factor ke Dunia NFT
Zironi menggambarkan pengalamannya di X-Factor sebagai momen yang mendebarkan tapi penuh pelajaran.
“Sehari setelah final X-Factor, aku langsung diundang ke kantor Sony Music di Milan. Mereka tawarkan kontrak lima album. Aku pikir itu keberuntungan besar, jadi aku tanda tangan tanpa pikir panjang,” kenangnya.
Tanpa pendampingan hukum atau keluarga, Zironi akhirnya menandatangani kontrak yang memberinya hanya 5% kepemilikan lagu dan 50% dari pendapatan—tanpa uang muka. Ia sempat memperjuangkan kebebasan artistik dengan memproduksi lagu sendiri, namun berselisih dengan label karena perbedaan visi.
Walaupun berhasil menyelesaikan album, Sony memutuskan untuk tidak merilisnya.
“Enam bulan setelah aku serahkan album, mereka bilang musim X-Factor baru sudah dimulai dan perhatian publik pindah ke peserta baru. Itu jadi jalan keluarku dari kontrak.”
Kekecewaan terhadap industri musik konvensional menuntunnya ke jalur alternatif: NFT dan Web3.
Titik Balik: Ibu dan Snoop Dogg
Pada akhir 2021, Zironi sempat berada di titik frustrasi. Setelah pandemi COVID-19 melumpuhkan konser, ia menghabiskan tabungan terakhir untuk memproduksi Moonshot—EP lima lagu yang menjadi upaya terakhirnya dalam bermusik.
Namun, percakapan dengan ibunya mengubah segalanya.
“Ibu tanya, ‘Kamu udah dengar Snoop Dogg jual musik lewat NFT belum? Coba cari tahu dulu, jangan menyerah.’ Itu membuka pikiranku. Aku selalu merasa musik terlalu diremehkan.”
Gagasan bahwa musik bisa dikoleksi layaknya karya seni visual begitu melekat. Di Januari 2022, ia mencetak NFT pertamanya—versi akustik dari lagu Gypsy Heart.
“NFT itu langsung sold out, gila banget,” ujarnya.
Sejak saat itu, kariernya di dunia musik NFT melesat. Ia telah menjual hampir 10.000 NFT musik. Koleksi Moonshot yang dirilis pada 16 April 2022 menghasilkan lebih dari 340 ETH di pasar sekunder—angka fantastis untuk musisi independen.
Kesuksesannya berlanjut. Di Januari 2023, ia merilis koleksi Another Life berisi 5.200 NFT di tengah pasar bearish. Kemudian, ia menjadi musisi pertama yang menyimpan satu lagu lengkap beserta visualnya di jaringan Bitcoin dengan judul “10 Years”. Pada Oktober 2024, ia kembali jadi sorotan karena menjual lagu 1-of-1 “n0 0rdinary kind” seharga 1 BTC.
Dari Reality Show ke Pioneer Musik Web3
Satu percakapan sederhana dengan sang ibu telah mengantarkan Violetta Zironi ke jalur tak terduga—menjadi salah satu pelopor musik NFT global. Di tengah stigma terhadap kripto, ia tetap teguh di jalannya dan membuktikan bahwa kreativitas dan teknologi bisa berjalan beriringan, bahkan tanpa dukungan label besar.
“Aku curahkan energi sebesar pelukis saat bikin lagu. Jadi, kenapa aku nggak bisa tentukan harga sendiri dan bangun komunitas dari situ?”