
Akankah China Longgarkan Larangan Mining Bitcoin di Tengah Tekanan Tarif Trump?
Amerika Serikat kini secara resmi menjadi pusat penambangan (minng) Bitcoin terbesar di dunia, menggeser dominasi China yang telah lama memimpin industri ini. Laporan terbaru dari Cambridge Centre for Alternative Finance (CCAF) menyebut bahwa AS kini menyumbang 75,4% dari total hashrate global, sebuah capaian signifikan yang menandai perubahan besar dalam lanskap penambangan kripto global.
Sebelumnya, China mendominasi penambangan Bitcoin sejak 2017 dengan menyumbang hingga 75% dari hashrate dunia, berkat biaya listrik yang murah dan infrastruktur teknologi yang luas. Namun, kebijakan keras pemerintah Tiongkok terhadap industri kripto, termasuk pelarangan transaksi dan penutupan pertambangan sejak 2019 hingga akhir 2021, secara bertahap menggeser kekuatan itu.
Meski demikian, laporan dari analis dampak lingkungan kripto, Daniel Batten, pada Juli 2024 menunjukkan bahwa China masih menyumbang sekitar 15% dari hashrate global. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas penambangan Bitcoin belum sepenuhnya berhenti, meskipun ada larangan resmi.
Nic Puckrin, Co-Founder dari Coin Bureau, menyatakan bahwa meskipun China tidak akan segera membatalkan larangannya secara terbuka, dominasi AS dalam penambangan Bitcoin saat ini mungkin mendorong Beijing untuk mengevaluasi kembali sikapnya secara diam-diam.
“Infrastruktur sudah ada, dari penambangan lepas pantai hingga jaringan perdagangan lintas batas. China bisa saja mengambil pendekatan strategis secara tidak resmi,” ujar Puckrin, seperti dikutip dari BeInCrypto.
Selain itu, posisi China sebagai eksportir utama perangkat keras penambangan seperti ASIC memberikan keunggulan tersendiri jika negara tersebut memutuskan untuk kembali terjun ke sektor ini.
Di sisi lain, China juga terus mengembangkan aset digital melalui pendekatan berbeda. CEO Wanchain, Temujin Louie, menegaskan bahwa meskipun China melarang Bitcoin, negara ini aktif dalam pengembangan mata uang digital bank sentral (CBDC), khususnya yuan digital atau e-CNY. Menurutnya, langkah ini lebih diarahkan untuk melemahkan dominasi dolar AS ketimbang menanggapi kebijakan perdagangan AS secara langsung.
Louie menambahkan, "Seperti biasa, bagi China, pendekatan yang cermat adalah yang terbaik. Setiap perubahan kebijakan tidak akan disebabkan oleh tarif AS. Sebaliknya, keputusan China akan dipengaruhi oleh tren pasar global dan strategi domestik China sendiri."
Menariknya, perkembangan ini muncul di tengah laporan bahwa China dan Rusia dilaporkan telah menggunakan Bitcoin dalam penyelesaian perdagangan energi, sebagai bagian dari upaya menghindari dominasi dolar.
Hal ini, menurut Puckrin, berpotensi memperbesar ekonomi kripto bayangan China dan mengindikasikan kemungkinan kembalinya pengaruh negara tersebut di sektor ini, bukan sebagai respons langsung terhadap AS, tetapi sebagai bagian dari strategi de-dolarisasi.