
Blockchain Bisa Mengakhiri Krisis Pemalsuan Pangan, Tapi Biayanya Tak Murah
Pemalsuan makanan merugikan industri pangan global hingga $50 miliar setiap tahunnya dan membahayakan kesehatan publik. Jika diterapkan secara realistis dan konsisten, teknologi blockchain bisa menjadi solusi ampuh.
Namun, tantangannya tidak kecil. Masalah biaya, skalabilitas, integrasi sistem lama, interoperabilitas, serta isu privasi dan ketidakpastian regulasi masih menghalangi adopsi secara luas.
Pemalsuan Pangan Lebih Serius dari yang Kita Sangka
Menurut FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), pemalsuan makanan melibatkan tindakan penipuan terhadap konsumen mengenai isi atau kualitas makanan.
Bentuknya beragam:
-
Salah label
-
Pemalsuan merek
-
Pengenceran bahan (contoh: minyak zaitun dicampur minyak murah)
-
Substitusi bahan (contoh: daging kuda dijual sebagai daging sapi)
-
Bahkan penggunaan zat berbahaya (contoh: melamin di susu bayi di Tiongkok)
Skandal seperti ini tidak hanya merugikan finansial, tapi juga menghancurkan reputasi merek, mengurangi kepercayaan konsumen, dan bahkan menyebabkan kematian.
“Skandal satu produk bisa mengancam seluruh kategori dan menghancurkan bisnis yang sah,” kata Temujin Louie, CEO Wanchain.
Rantai Pasok Kompleks Bikin Pemalsuan Subur
Rantai pasok global yang rumit dan tidak transparan memberi celah besar bagi penipuan. Cold chain (rantai dingin) sangat rentan—produk bisa rusak karena suhu yang salah, lalu tetap dijual seolah-olah masih segar.
“Sistem pelacakan internal antar perusahaan tidak saling terhubung, menciptakan ‘pulau data’,” jelas David Carvalho, CEO Naoris Protocol.
Produk palsu bisa menyusup karena tidak ada data terpadu yang bisa diandalkan.
Peran Blockchain dalam Melawan Pemalsuan
Meski banyak tantangan, blockchain menawarkan sistem berbasis data terverifikasi:
-
Desentralisasi: tidak ada satu pihak yang mengendalikan data
-
Immutability: data tidak bisa diubah begitu tercatat
-
Transparansi selektif: hanya data relevan yang dibagikan ke pihak berwenang
-
Smart contract: otomatisasi dan validasi proses
Ketika digabung dengan sensor IoT, sistem ini bisa mencatat suhu, lokasi, dan status produk secara real-time dengan jejak audit yang tidak bisa dimanipulasi.
Contoh suksesnya:
-
Walmart dan IBM: mengurangi waktu pelacakan mangga dari hari ke detik menggunakan Hyperledger
-
TE-Food & Provenance: solusi blockchain untuk ketertelusuran pangan
-
Nestlé, Carrefour, Seafood Souq: sudah uji coba sistem pelacakan blockchain
“Blockchain menggantikan model lama yang mengandalkan dokumen dan kepercayaan dengan sistem berbasis data yang bisa diverifikasi,” ujar Louie.
Blockchain Bukan Solusi Sempurna
Tantangan besar tetap ada:
-
Skalabilitas dan biaya
-
Keterbatasan akurasi input (“garbage in, garbage out”)
-
Ketergantungan pada oracles dan perangkat IoT
-
Kekhawatiran privasi dan kompetisi bisnis
“Teknologi saja tidak cukup,” kata Carvalho. “Harus diikuti dengan perubahan proses bisnis, pelatihan, dan budaya kolaborasi.”
Blockchain permissioned dan kebijakan akses data dapat menjadi solusi kompromi, tapi butuh tata kelola yang kuat.
Louie menyarankan agar penerapan dimulai dari kasus-kasus penggunaan spesifik dengan dampak nyata. Model konsorsium antar perusahaan dan standar industri akan sangat membantu dalam mempercepat adopsi.
Masa Depan Keamanan Pangan: Sintesis Blockchain, AI, dan IoT
Gabungan teknologi seperti sensor IoT, AI, robotik, pengemasan pintar, dan sertifikat digital menawarkan peluang besar.
AI bisa mendeteksi anomali, mengoptimalkan logistik, dan mengurangi pemborosan makanan. Sementara blockchain menjaga transparansi dan integritas data.
Hasil akhirnya bukan cuma memerangi pemalsuan, tapi juga:
-
Meningkatkan efisiensi operasional
-
Mengurangi limbah makanan
-
Meningkatkan kepercayaan konsumen
-
Mendukung klaim keberlanjutan