Jangan Harap Stablecoin China Beredar di Daratan Tiongkok
Industri kripto tengah ramai berspekulasi setelah laporan terbaru menyebutkan bahwa China mungkin melunak terkait stablecoin yang didukung yuan. Namun, para pakar hukum memperingatkan agar tidak berlebihan menafsirkan kabar tersebut.
Reuters melaporkan pada Rabu (21/8) bahwa Beijing sedang mempertimbangkan persetujuan stablecoin yang dipatok pada renminbi sebagai bagian dari peta jalan internasionalisasi mata uangnya. Ini merupakan laporan kedua bulan ini, setelah berita serupa dari Financial Times pada 5 Agustus. Meski begitu, pejabat China belum mengonfirmasi apakah mereka benar-benar mempertimbangkan penerbitan stablecoin.
Namun, analis menekankan bahwa sekalipun otoritas China melangkah maju, stablecoin tersebut hampir pasti hanya akan beredar di luar negeri (offshore), bukan di daratan utama (mainland).
“Berita soal stablecoin yang terhubung dengan mata uang China kemungkinan benar, tapi tidak seperti yang banyak orang bayangkan. China hampir pasti tidak akan menerbitkan stablecoin onshore, melainkan offshore,” jelas Joshua Chu, co-chair Hong Kong Web3 Association, kepada Cointelegraph.
Kenapa Stablecoin Yuan Tidak Akan Dipatok ke CNY?
Mata uang China terbagi ke dalam dua pasar: yuan dalam negeri (CNY) dan yuan luar negeri (CNH). CNY hanya berlaku di daratan Tiongkok dan tunduk pada kontrol modal ketat. Karena itu, stablecoin yang dipatok ke CNY akan berbenturan dengan aturan tersebut.
CNH dan CNY pada dasarnya adalah mata uang yang sama, tetapi harganya bisa berbeda karena diperdagangkan di pasar berbeda. Misalnya, jika pasar luar negeri pesimis terhadap China, CNH bisa melemah lebih cepat daripada CNY. Sebaliknya, jika ada permintaan tinggi terhadap aset China, CNH bisa lebih kuat daripada CNY.
Fenomena serupa juga terlihat di Korea Selatan, dikenal sebagai “kimchi premium,” di mana harga Bitcoin (BTC) di bursa lokal sering diperdagangkan lebih mahal karena pasar kripto domestik yang terbatas.
Peran Raksasa Teknologi dan Digital Yuan
Beberapa laporan menyebutkan bahwa raksasa internet China melobi agar stablecoin offshore yuan disetujui. Sementara itu, di pasar domestik, Beijing tetap fokus pada digitalisasi CNY melalui Central Bank Digital Currency (CBDC), yakni yuan digital atau e-CNY.
Menurut Winston Ma, profesor hukum di New York University sekaligus mantan direktur di China Investment Corporation, jika China benar-benar mempertimbangkan stablecoin CNY, maka harus berjalan berdampingan dengan e-CNY.
“Di daratan Tiongkok, pemerintah terus mendorong penggunaan e-CNY melalui bank negara maupun aplikasi pembayaran mobile. Uji coba stablecoin di dalam negeri kemungkinan besar akan diintegrasikan dengan e-CNY, yang sudah diuji coba oleh ratusan juta pengguna,” kata Ma.
Hong Kong: Gerbang Stablecoin Offshore China
Sejak Beijing memperluas skema penyelesaian perdagangan lintas batas RMB pada 2010, Hong Kong tumbuh menjadi pusat likuiditas terbesar CNH. Kota ini menjadi pelopor penerbitan obligasi “dim sum bonds” dalam yuan offshore dan pusat utama perdagangan berbasis CNH.
Selain itu, Hong Kong berfungsi sebagai jembatan kebijakan internasionalisasi yuan sekaligus menjaga kontrol ketat pasar CNY domestik. Regulasi aset digital di Hong Kong juga memungkinkan bursa kripto mengajukan lisensi yang tidak tersedia di daratan China. Bahkan, ada laporan bahwa otoritas China menggunakan Hong Kong untuk melikuidasi aset kripto hasil sitaan.
Kini, peran tersebut meluas ke stablecoin. Pada 1 Agustus, aturan stablecoin baru resmi berlaku di Hong Kong, mewajibkan penerbit untuk memperoleh lisensi. Kebijakan ini hadir seiring dorongan Amerika Serikat melalui GENIUS Act, yang memperkuat dominasi dolar AS di sektor stablecoin.